Senin, Februari 04, 2008

Surat Cinta Untuk Sahabat

Teruntuk : Sahabatku

Di Bumi Allah

Bagaimana kabarmu sahabatku…? Telah lewat empat minggu kau tidak menghiraukanku. Sapaku tak kau balas, pesan-pesan singkatku tak kau jawab. Sejujurnya, aku kangen. Pada kebersamaan kita, pada canda tawa kita, pada perhatian dan kebaikan hatimu juga pada cerita-cerita sedihmu. Adakah kau merasakan rindu yang sama, sahabat…? Bila kau merindukannya, bukalah hatimu untuk memaafkanku, bila kau tidak, maka kau harus memaafkanku demi cintamu pada Yang Maha Pemaaf. Bukankah kau sangat mengetahui bahwa Dia membenci umat yang memutuskan silaturahim…? Empat minggu telah berlalu…sedang Rasul-mu memberi batas waktu tiga hari saja.

Sejak sms terakhirku, sikapmu berubah padaku. Sejak itu pula aku terus bertanya-tanya.

“Apakah sebuah kesalahan bila aku ingin menjadi cermin bagi dirimu, sahabatku…?”

Barisan kalimat yang kurangkai dengan sayang, semata ingin agar kau bangkit dari keterpurukan, membalut luka, menghapus air mata, untuk kemudian melangkah dengan kelapangan dada.

“Sahabatku, sekarang bukan lagi saatnya kau terus bertanya, mengapa ia begini? Mengapa ia begitu? Bertanya mengapa hanya akan menimbulkan prasangka-prasangka. Biarkan proses ta’arufmu berakhir dengan indah, dengan ucapan maaf dan terima kasih. Sekarang saatnya kau bertanya, apa yang akan kau kerjakan untuk hidupmu sementara jodoh itu belum datang…”

Ah, sahabatku…aku memang tak cukup arif untuk memberimu nasihat. Mungkin seharusnya aku tetap menjadi pendengar yang baik dan motivator bagimu. Tak sepatutnya aku menasihatimu di saat kepercayaanmu padaku belum lagi pulih. Yah…walau kau coba menguburnya jauh di dasar hatimu, aku dapat merasakan kepercayaan itu tidak mudah untuk kau hadirkan kembali setelah konflik yang terjadi di antara kita dua tahun yang lalu…

Malam itu, usai waktu maghrib, kau menangis di hadapanku, meluapkan seluruh perasaanmu dengan emosi yang tidak dapat kau kendalikan lagi. Kau marah, takut, kecewa dan sedih yang amat sangat…terhadap dosen pembimbing skripsimu yang menurutmu “killer”, suka membentak, dan mengolok-olok mahasiswanya. Kau mengaku selalu ketakutan bila akan menghadapnya dan berurai air mata usai menghadapnya. Ucapan beliau selalu menyakitkan hatimu.

Sahabat, kita mempunyai dosen pembimbing skripsi yang sama, namun apa yang kau rasakan terhadap beliau tidak pernah kurasakan. Aku tahu kenapa, karena kau mempunyai perasaan yang sangat ‘halus’. Kau sangat mudah mengeluarkan air mata (Itu telah kau akui), marah, sedih, kesal, kecewa, bahkan merasa bahagia pun kau menangis. Sering, penerimaanmu negatif pada ucapan orang lain. Ini yang kadang membuatku serba salah di hadapanmu, aku harus super hati-hati memilih kata-kata yang tepat agar dapat kau terima tanpa tersinggung dan berurai air mata. Dengan perasaan ‘halus’ seperti itu, aku dapat memahami bila kau mengaku trauma kembali menghadap dosen untuk konsultasi. Rasa takut itu ternyata terus membayangi langkahmu, menguasaimu hingga kau memilih menunda-nunda penyelesaian skripsimu.

Sahabatku, melihat air mata yang membanjiri pipimu malam itu membuat hatiku tesayat-sayat, betapa inginnya aku mengurangi bebanmu, membantumu kembali berpijak hingga sukses kau raih. Maka otakku pun bekerja mencari jalan keluar. Kemudian, sebuah solusi kutemukan.

***

Bapak (begitu kita menyebutnya) tertawa tak percaya begitu kuceritakan permasalahanmu. Beliau tak menyangka bila ada mahasiswa yang merasa bermasalah dengannya. Bapak memang seorang dosen yang bisa dikatakan dekat dengan mahasiswa, dan sangat perhatian dengan mahasiswa bimbingannya, bukan itu saja, beliau juga suka menolong mahasiswa dengan caranya sendiri yang mahasiswa itu tidak menyadari bahwa ia sedang ditolong Aku sedikit menyesalkan, mengapa kau tidak dapat mengabaikan kekurangan bapak yang kau katakana suka membentak, menyinggung perasaan orang lain dengan mengolok-olok? Bukankah melihat pada kebaikannya akan menjadikanmu merasa lebih baik…?

“Aku sudah berusaha mengingat kebaikan-kebaikan bapak, tapi tetap saja aku merasa sakit dengan sikap dan perkataannya…”

Baiklah kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu untukmu, sahabat. Melepaskanmu dari rasa takut dan sakit itu, juga membantu bapak agar ia menyadari, ada hati yang terdzolimi oleh sikap dan perkataannya, hatimu sahabat…

“Kalaupun saya marah, itu bukan dari hati. Saya marah hanya di mulut saja, setelah itu ya sudah, saya lupakan”. Begitulah bapak menyatakan argumennya.

Aku mengerti. Sebagaimana dengan bapak, aku pun mempunyai karakter marah yang hampir sama. Aku akan menangis bila marah, air mataku tak mampu ku tahan. Bila telah menumpahkan seluruh hatiku dan semua alasan yang membuat aku marah, aku akan kembali tersenyum bahkan tidak ingat lagi dengan kemarahanku. Aku pun jadi lebih sayang pada orang yang membuatku marah sebagai tebusan rasa malu dan penyesalan atas kemarahanku.

Tapi tentu saja tidak setiap orang mempunyai karakter marah yang sama. Ada orang yang tidak mudah marah namun bila marah, sangat sulit untuk reda. Ada pula yang tidak mudah marah, mudah pula redanya. Dan ada kau, yang setiap kali marah lebhi suka memendamnya, bila terusik sedikit saja akan meledak seperti bom waktu. Maka dengan hati-hati kukatakan pada bapak.

Ada sebagian orang yang perasaannya sangat ‘halus’, sehingga intonasi bicara bapak yang memang seperti itu diterima sebagai bentakan, gurauan bapak diterima sebagai olokan. Teman saya ini mempunyai perasaan yang sangat halus, mungkin bapak bisa sedikit merubah cara bicara bapak di depannya, supaya dia tidak takut lagi menghadap bapak…”.

Sahabatku, setelah pembicaraan itu, aku yakin sekali bapak akan berubah sikap, setidaknya di depanmu. Aku percaya, sebagai seorang pendidik tentu beliau tidak ingin anak didiknya gagal hanya karena takut padanya. Tapi alangkah terkejutnya aku ketika kata-kata ketus keluar dari mulutmu.

“Teganya kamu cerita masalahku ke bapak! Bapak itu karakternya memang seperti itu, sampai kapan pun dia tidak akan berubah!”.

Sahabat, seingatku aku telah meminta ijinmu, mungkin kau lupa sehingga reaksimu sedemikian berang. Wajahmu merah padam, sempat tersorot kebencian di matamu. Tiba-tiba aku merasa, setelah ini kau tidak akan mempercayai aku lagi…

***

Sahabat, dua tahun kemudian kau bercerita padaku, sejak peristiwa itu sikap bapak berubah. Bapak sangat ramah bila kau datang menghadapnya, beliau juga menurunkan emosinya segera begitu melihatmu datang, walau sebelumnya beliau tengah memarahi mahasiswa ‘bandel’ yang tidak mengikuti arahannya. Kau tidak harus takut dan menangis lagi, kau bisa berkonsultasi dengan nyaman, dan kau pun akhirnya dapat menyelesaikan skripsimu dengan nilai A.

Diam-diam aku bersyukur…

Namun, rasa sakit itu masih tersisa di hatimu. Kau masih mengungkitnya dan menyalahkan aku…

***

Sahabatku sayang…

Suatu hari, seorang sahabat berkata pada Rasulullah. “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai si Fulan”. Sahabat itu menunjuk pada seorang laki-laki yang berada tidak jauh dari tempatnya dan Rasulullah berdiri. Mendengar perkataan sahabat, Rasulullah menyuruh sahabat itu untuk mengatakan rasa cintanya itu kepada si Fulan.

Aku tak cukup punya keberanian untuk mendatangimu dan mengatakannya, sahabat… Lidahku selalu terasa kelu untuk mengatakannya. Maka biarlah goresan pena ini yang menyampaikannya padamu.

“Sahabat, aku menyayangimu karena Allah”

Dan rasa sayang itulah yang mendorongku untuk berjanji pada diriku sendiri ketika kau mengeluh padaku.

“Mengapa teman-teman yang sudah menikah sekarang jadi cuek, tidak peduli lagi pada keadaan saudaranya…?”.

Saat itulah aku berjanji dalam hati, bila saatnya aku menikah nanti, aku akan tetap peduli pada teman-temanku, Memberi ruang pada mereka di hatiku, dan selalu ada bila mereka membutuhkanku. Karena boleh jadi, pernikahan diijinkan Allah terjadi disebabkan oleh do’a saudara-saudara kita, sahabat-sahabat kita, yang dengan ketulusan mereka telah mampu membuka pintu langit. Allah mendengar, dan mengabulkan do’a mereka, kemudian mengirimkan jodoh untukku juga untukmu…

Untuk itulah sahabatku, sebisa mungkin kuluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhanmu, bahkan terkadang aku terlalu ingin menyelam jauh ke dasar hatimu, yang kau tanggapi dengan dingin.

“Jangan kira kamu mengerti tentang aku”.

Kau benar sahabat, delapan tahun belumlah cukup untuk aku dapat mengerti dirimu…karena itu, ijinkan aku tetap di sisimu untuk berusaha lebih keras lagi belajar mengerti…Ijinkan aku membayar janjiku…

Sahabatku, maafkanlah aku, bukalah hatimu untuk kembali mempercayaiku, untuk kembali merajut persahabatan yang indah seperti dulu…

Jogjakarta, 8 Sepetember 2007

Dariku,

Sahabatmu

Tidak ada komentar: