Rabu, Januari 30, 2008

Niat Saja Tak Cukup, Berbuatlah...

Sore kemarin sebuah pelajaran kembali saya dapatkan. Kali ini dari Ayahanda sahabat saya yang tahun lalu baru saja menunaikan ibadah haji. Ia nampak bahagia bisa menjalankan ibadah ke tanah suci, sebahagia semua orang yang pernah berhaji. Bercerita ia tentang berbagai pengalamannya selama menjadi tamu Allah, tentang makam Rasulullah dan semua hal menakjubkan di tanah suci. Namun dari semua cerita itu, ada satu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Yakni ketika sampai pada cerita tentang, bagaimana ia bisa berangkat pergi haji, padahal uang tabungannya belumlah mencukupi. Kisah-kisah unik dan ajaib tentang orang-orang yang pergi haji pun berlanjut, dan kisah dari Ayahanda sahabat saya ini menambah daftar panjangnya. Kita pernah mendengar ada seorang pengemis yang bisa berangkat haji lantaran ia senantiasa menjaga mulutnya dari kata-kata yang sia-sia. Begitu pun kisah tentang tukang sol sepatu yang bisa berhaji karena kebaikannya terhadap tetangganya. Kisah Ayahanda sahabat saya ini, mungkin tak sedramatis kisah-kisah mengagumkan sebelumnya. Namun cukuplah untuk memberi semangat baru, terutama bagi orang-orang seperti saya yang kebanyakan keinginan namun sering hanya berujung di bab niat saja. “Pergi haji, jangan cuma niat. Jangan hanya punya keinginan, sebab semua orang pun punya keinginan itu. Tapi tidak semua orang mau merealisasikan kenginannya itu”. Beliau tidak sedang bicara tentang orang-orang kaya harta yang sebenarnya mampu berkali-kali pergi haji, namun tak juga berangkat. Yang dimaksud beliau, adalah orang-orang yang punya keinginan kuat, namun tak pernah menunjukkan keinginannya itu dengan satu perbuatan. “Saya orang yang tidak punya, tetapi saya sangat ingin pergi berhaji, karenanya saya menabung sedikit demi sedikit. Ketika tahun kemarin saya pergi haji, apakah tabungan saya sudah cukup? Tentu saja belum! Tapi Allah melihat niat yang saya iringi dengan usaha untuk mewujudkannya dengan cara menabung. Inilah cara Allah memudahkan jalan orang-orang yang mau berusaha,” terangnya bersemangat. Kalimat-kalimat yang mengalir darinya, sangat menyejukkan sekaligus mencerahkan. Tertohok diri ini mendengarnya, namun juga menyenangkan bisa mendapat nasihat yang bermanfaat. Betapa sering dan mudahnya kita berucap, “Yang penting niat dulu, niat baik saja kan sudah dicatat malaikat”. Boleh jadi betul bahwa niat baik itu tercatat, tapi jangan-jangan malaikat bosan melihat catatan harian kita hanya dipenuhi kumpulan dan daftar niat. Namun tak sekali pun pernah menunjukkan i’tikad untuk mewujudkannya. Sangat mungkin saat ini Allah menunggu-nunggu kapan kita bekerja merealisasikan kumpulan niat itu, sementara kita tetap asik menggantang niat yang tak pernah terwujud itu. Seperti kisah Ayahanda sahabat saya itu, mungkin Allah tak perlu menunggunya sampai ia mampu mencukupi biaya haji. Tapi Allah hanya mau melihat –sekali lagi, hanya mau melihat- adakah hal yang diperbuat untuk merealisasikan niat tersebut. Akhirnya, tak perlu sampai mencukupi biaya haji, beliau bisa berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Maha Suci Allah.Begitu pun dengan kita. Mari lihat kembali daftar niat yang pernah kita tuliskan, kemudian satu persatu kita upayakan untuk merealisasikannya. Insya Allah, Allah bersama malaikat dan rasul akan melihat apa yang kita kerjakan. Soal hasil akhir, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah.
(Bayu Gawtama)

Subuh Terindah

Sholat subuh berjamaah pagi ini terasa sangat indah. Bukan karena rembulan bulat penuh yang mengiringi langkah-langkah saya menuju masjid, bukan karena semilir angina fajar yang merasuk menjalari celah-celah pakaian, serta bukan karena panggilan adzan nan merdu yang senantiasa terdengar dari corong masjid di lingkungan tempat tinggal saya itu.

Rembulan fajar berwarna kuning kemerah-merahan sudah hampir setiap hari menemani langkah para jamaah. Ia kadang hadir sebulat penuh, meski kadang malu mengintip dengan sepertiga tubuhnya saja. Namun bulat penuh maupun separuhnya, tetaplah indah. Demikian pula dengan angin yang menembus tipis jaket atau gamis yang dipakai para jamaah, udara pagi itu juga membawa serta aroma fajar yang menyejukkan. Siapa pun yang mengayunkan langkah di waktu itu, akan memanfaatkannya dengan menghirup panjang udara bersih anugerah Allah. Bagus untuk kesehatan, terlebih buat seorang pengidap asma seperti saya.
Tetapi subuh pagi ini terasa lebih indah bukan karena semua keindahan fajar yang biasa dinikmati setiap hari itu. Subuh ini, begitu melangkahkan kaki menaiki anak tangga, belum sempat melakukan shalat sunnah, sesuatu terasa aneh di perut saya yang memaksa tubuh ini berlari ke area tempat wudhu dan segera mencari toilet. Entah apa yang saya makan semalam sehingga perut terasa mulas dan harus menyelesaikannya di toilet masjid.
Ternyata butuh waktu agak lama untuk menghilangkan rasa mulas itu, saya pun berpikir akan tertinggal jamaah. Segera setelah selesai dan mengambil wudhu, tubuh ini pun saya paksa untuk berlari – lebih cepat dari saat tadi menuju toilet- agar tidak tertinggal jamaah. Sedetik kemudian, saya merasa terharu dengan apa yang saya lihat dalam hitungan detik itu. Sejak saya keluar dari toilet, kemudian saya berwudhu hingga terus berlari ke dalam masjid, posisi barisan jamaah dalam keadaan ruku’. Sehingga ketika saya merapatkan barisan dalam jamaah, saya masih mendapatkan nilai jamaah dalam sholat saya.


Sungguh, saya berterima kasih dengan Pak Wahid, salah seorang warga baru yang menjadi imam subuh pagi ini. Saya memang tidak bertanya langsung apakah beliau sengaja memperlama ruku’ untuk menunggu saya atau karena hal lain. Yang pasti sampai usai sholat subuh bibir ini masih tertutup rapat tak melayangkan pertanyaan itu, bahkan ketika kami semua satu persatu beranjak dari masjid, pertanyaan itu menyelinap dalam-dalam di sisi tercuram hati ini.


Biarlah saya yang terus mengagumi keindahan subuh dan menuangkannya dalam tulisan ini. Berharap ragam keindahan subuh, juga di waktu-waktu shalat berjamaah lainnya terus bertumbuh layaknya bunga-bunga yang merekah di musim semi, seolah musim gugur takkan pernah terjadi. (gaw)

Rabu, Januari 09, 2008

Menggapai Derajat Siddiqin



Pengertian As-sidq

Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi.

Lawan kata siddiq adalah kadzib (dusta). Di antara arti sidiq adalah: benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Sidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Allah dan Rasulullah saw. yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Contoh, kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan membenarkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, di waktu tiada orang yang mempercayai Rasulullah saw.

Para ulama memiliki beragam gambaran, diantaranya:

- Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
- Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
- Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang membayahakan dirinya.
- Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.
- Sidiq Merupakan Hakekat Kebaikan
- Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah: 177.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat ini digambarkan sidiq yang meliputi keimanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq).” (At-Taubah: 119)

Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut:
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW.. bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’ (Mutafaqun ‘alaih)

Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib merupakan sumber dari keburukan: “Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.” (Mutafaqun ‘alaih)

Sidiq merupakan ketenangan. Dari Abu Haura’ As-Sa’dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah saw..? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah saw..: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketenangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)

Sidiq merupakan perintah Rasulullah saw. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus: “Apa yang dia perintahkan pada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.” (Mutafaqun ‘alaih)

Rasulullah saw. mengatakan: “Barangsiapa yang meminta kesyahidan kepada Allah swt. dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.” (HR. Muslim)

Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah swt. Rasulullah saw. mengemukakan: “Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.” (Mutafaqun ‘alaih)

Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin

Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)

Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi

Dalam Al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim a.s. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (Maryam: 41)
Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris a.s. Allah juga memujinya dalam Al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (Maryam: 56)
Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf a.s. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman dalam surat Yusuf ayat 51: “Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" mereka berkata: "Maha sempurna Allah, Kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya". berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan Sesungguhnya Dia Termasuk orang-orang yang benar."

Ciri-ciri Orang yang Sidiq

Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:
1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah swt. mencontohkan dalam Al-Qur’an, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)” (Al-Ahzab: 23).

2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an (Al-Hujuraat: 15):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar”

3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah saw., berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah: 177)

4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam Al-Qur’an: “Barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)

Cara Mencapai Sifat Sidiq

Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah saw., yaitu Abu Bakar Asidiq. Ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:

1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah swt. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.

2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.

3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.

4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam: “Barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 101)

5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.

6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shalih, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.

7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.

Yang kita khawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, mari kita menjaga hati dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat sidiq.

Dinukil dari Rikza Maulan, M.Ag